Wong Palembang.

Kenapa mayoritas orang Palembang di Sumatra Selatan mirip China, walau ia beragama Islam? Itulah sebagian ‘sisa hidup’ peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di kawasan Asia. Kerajinan tenun songket khas Palembang, pakaian adat Palembang yang mirip China, dan tari-tarian tradisional, termasuk peninggalan Sriwijaya yang hingga kini masih dapat kita nikmati.

Apakah empek-empek juga termasuk jenis udapan yang sudah dikenal pada masa Kerajaan Sriwijaya berjaya? Mungkin saja begitu. Pada abad ke 7 hingga 13 M, Sriwijaya mengalami zaman keemasan. Sebagai kerajaan maritim, namanya dikenal hingga ke mancanegara. Kekuatan maritim dapat dilacak dari peninggalan kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Buah, Palembang, pada 1960-an. Kemudi yang terbuat dari kayu onglen hitam itu panjangnya mencapai delapan meter. Tak heran kalau armada kapal milik Sriwijaya mampu berlayar ke China dengan membawa komoditas perkebunan, seperti cengkeh, pala, lada, timah, rempah-rempah, emas, dan perak. Barang-barang itu dibeli atau ditukar dengan porselin, kain katun, atau kain sutra.

Pada masa kegemilangannya, banyak pendatang dari mancanegara singgah ke Sriwijaya sekadar untuk tetirah atau berniaga. Beragam jenis kapal bertambat di pelabuhan Sungai Musi. Mereka juga bermukim di kerajaan yang dulunya menjadi pusat pendidikan ajaran Budha dan ilmu pengetahuan. Beberapa bangsawan dan orang kebanyakan menikah dengan pendatang dari China. Tak heran kini mayoritas orang Palembang kebanyakan berkulit kuning langsat dan bermata sipit. Apabila para bangsawan Sriwijaya tak dibantai habis pasukan Majapahit, kemungkinan mereka adalah keturunannya. Nasib ribuan pendeta Budha juga tak jelas hingga kini. Apakah mereka dihabisi pasukan Majapahit atau menyingkir ke Tanah Jawa, Thailand, China, dan India? Atau mereka harus berganti agama kala Islam masuk ke bekas kerajaan Sriwijaya? Tapi yang jelas, sebagian dari mereka adalah keturunan para pedagang China, dan juga para bajak laut asal China yang menguasai jalur sungai dan laut selama 200 tahun lamanya, usai Sriwijaya hancur lebur diserbu Majapahit. Keganasan para perompak itu berakhir setelah Panglima Perang Chengho yang diutus penguasa China datang dan memerangi mereka. Sebagian perompak yang selamat dari serbuan Chengho, lalu alih usaha di daratan, beranak pinak, dan membentuk koloni tersendiri. Mereka memutus tradisi dan nilai-nilai yang berkembang di tanah leluhur bangsa China, dan sebaliknya menanamkan kehidupan khas perompak yang berangasan. Sebuah tugu prasasti di Kampung Kapiten, Kelurahan Tujuh Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menunjukkan pemujaan kepada Dewa Samudra, sebagai peringatan adanya komunitas China yang menetap di Palembang. Adakah kaitan antara mereka dan ‘Preman Palembang’ yang kini tersohor itu? Sepertinya perlu ada penelitian yang lebih mendalam. Kalau di Palembang ada Kampung Jawa, bisa jadi mereka adalah keturunan pasukan Majapahit yang menetap disana.

Secuil peninggalan berbentuk benda mati seperti arca kini masih bisa Anda simak di Museum Bala Putradewa, Palembang, Sumatra Selatan. Tercatat ada 2 museum lagi di Palembang, yaitu Museum Situs Taman Purbakala Sriwijaya (TPKS) dan Museum Sultan Badaruddin II, namun semuanya tak terawat dengan baik. Perlu ada upaya pemerintah untuk menyatukan ketiganya, dan menamai museum itu ‘Museum Sriwijaya’. Sejak penjajahan Belanda hingga kini, sisa-sisa kejayaan Sriwijaya berupa barang antik telah pindah tangan ke luar negeri. Palembang, Jambi, dan Lampung adalah padang perburuan
bagi kolektor dan pedagang barang antik.

Dimanakah pusat Kerajaan Sriwijaya? Itulah pertanyaan yang hingga kini masih menggantung, karena belum juga ditemukan peninggalan istana atau kraton. Kemungkinan besar pada saat penyerbuan pasukan Majapahit, istana tersebut dibumi hanguskan. Sejumlah manuskrip dan prasasti tentang kerajaan Sriwijaya juga banyak yang telah rusak, hilang, atau masih terkubur dalam tanah. Ketidak lengkapan temuan arkeologis tersebut menyebabkan para peneliti kesulitan menyusun sejarah kemunculan
dan pertumbuhan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap dan runtut.

Sejarah Sriwijaya justru banyak disusun berdasarkan berita-berita dari pengelana asing, seperti dari China, India atau Arab. Setidaknya ada 18 situs dari masa Sriwijaya di Palembang. Empat situs diantaranya memiliki penanggalan sekitar abad ke-7 sampai ke-9, yaitu situs Candi Angsoka, prasasti Kedukan Bukit, situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa. Beberapa prasasti juga telah ditemukan, yang isinya menceritakan keberadaan Sriwijaya dan kutukan bagi para pembangkang. Beberapa peninggalan Sriwijaya juga ditemukan di Jambi, Lampung, Riau, dan Thailand.

Kebesaran Sriwijaya juga terlacak dari peninggalan di India dan Jawa. Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja Balaputradewa dari Swarnadipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti Rajaraja I tahun 1046 mengisahkan pula, Raja Kataha dan Sriwiyasa Marajayayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah desa pembangunan biara Cudamaniwarna di kota Nagipattana. India. Manuskrip sejarah, seperti Kitab Sejarah Dinasti Song dan Dinasti Ming, berada di China. Raja Sriwijaya juga mendukung penuh pembangunan Candi Borobudur di Pulau Jawa yang terbuat dari batu gunung. Sedangkan candi-candi peninggalan Sriwijaya di Sumatra semuanya terbuat dari batu bata yang cepat aus dimakan zaman. Kenapa? Karena lokasinya jauh dari gunung.

Catatan : Keluarga Penulis mirip orang Cina yaitu : matanya sipit, kulitnya putih.

 

Tinggalkan komentar